
Anak Baru di Kelas 8A
Karya : Muhammad Ikbal Eka Maulana *)
Pagi itu, pukul 07.00, suasana di SMP Nusa Nirwana mulai ramai. Bel masuk baru saja berbunyi. Anak-anak kelas 8A jurusan Progul Bahasa Inggris sudah duduk di tempat masing-masing.
Tiba-tiba, seorang cowok masuk ke dalam kelas. Ia mengenakan seragam putih biru, dipadu jaket kulit coklat yang membuatnya tampak keren. Badannya tinggi, agak kurus tapi berisi. Matanya bulat, berwarna coklat tua hampir kehitaman. Ia berjalan menuju kursinya, lalu meletakkan tas di bawah meja.
Di sebelah kursinya, duduk seorang cewek cantik dan imut. Pipi tembemnya membuatnya terlihat lucu, meskipun katanya dia punya sifat pemarah dan suka menyuruh teman sebangkunya jadi “pembantu pribadi”.
Pelajaran pun dimulai. Suasana kelas sunyi. Semua murid menyimak guru Bahasa Inggris yang mulai mengajar.
Dari bangku belakang, terdengar bisik-bisik dua siswi.
“Lu tahu nggak, nama cowok itu siapa?” tanya Nissa, matanya melirik ke arah si anak baru.
“Enggak tuh, gue juga nggak kenal,” jawab Nayla malas.
“Dahlah, nggak usah ngurusin dia. Nggak penting,” lanjut Nayla sambil memutar matanya.
“Elu kenapa sih? Emangnya lu mau jadi pacarnya?” goda Nissa, tersenyum nakal.
“Gak usah dipikirin deh,” balas Nayla cepat.
“Ya ya, maafin gue,” kata Nissa dengan nada bercanda.
Tak lama, bel istirahat berbunyi. Jam menunjukkan pukul 09.00. Murid-murid langsung keluar kelas.
Namaku Aldo Steven. Hari ini adalah hari pertamaku sebagai siswa kelas 8A di SMP Nusa Nirwana. Jurusan ku Progul Bahasa Inggris.
Saat istirahat, aku memilih makan di kantin bersama temanku. Namanya Gibran, anak dari kelas sebelah.
“Bu, saya mau nambah makanan lagi,” kataku sambil membawa piring kosong.
“Iya, Nak Aldo. Ini nasi pecel lele, sama es teh satu ya,” kata Bu Indah, ibu kantin yang ramah.
“Gip!” jawabku sambil mengacungkan jempol kanan.
Aku menikmati makananku. Lele gorengnya renyah, sambalnya pedas pas, dan es tehnya segar. Lima tegukan langsung habis! Aku bayar makanan dengan uang dari saku, lalu kembali ke kelas.
Anehnya, saat aku masuk, kelas kosong. Tidak ada satu pun murid. Seisi kelas hening.
Aku duduk sendiri, memandang ke luar jendela sambil bertanya dalam hati:
“Kenapa tadi si cewek di sebelahku kelihatan jutek, ya? Dia benci aku, atau cuma belum kenal?”
“Eh, itu yang namanya Aldo, kan?” bisik Nayla ke Nissa sambil melirik ke arah anak baru yang duduk sendirian.
“Iya, dingin banget auranya. Kayak… kalo deket dia, langsung pengin mundur,” jawab Nissa sambil nyengir.
Tiba-tiba, Rangga—teman sekelas mereka—datang nyamperin.
“Kalian ngapain sih? Kok lihatin jendela terus dari tadi?” tanya Rangga curiga.
“Gak ngapa-ngapain. Kita cuma liatin cicak di atas itu, loh!” jawab Nayla cepat, nada suaranya agak tinggi.
“Ah, bohong. Pasti kalian lihatin Aldo ya… dari balik jendela,” goda Rangga.
“Heh! Lu bisa diem gak sih? Gue tampol juga lu!” bentak Nayla sambil manyun kesal.
“Eh, ada apa nih kok ribut-ribut dari tadi?” suara Aldo terdengar dari dalam kelas. Dia berdiri, menatap mereka dengan ekspresi tenang.
“Ini loh, kita semua lagi… ehm… mau liat kamu dari jendela,” sahut Rangga jujur, malah senyum-senyum sendiri.
“Yaudah diem napa. Gak usah lebay,” kata Aldo santai.
Belum sempat Nayla membalas, suara Pak Lutfin, guru Bahasa Inggris mereka, terdengar nyaring.
“Hei, kalian! Ada apa ribut-ribut di depan kelas?”
“Gak ada, Pak,” jawab Nayla cepat. “Tadi cuma cicak jatuh ke muka saya. Jadi kaget, gitu…”
“Ya sudah, masuk semua. Pelajaran Bahasa Inggris mau dimulai,” kata Pak Lutfin tegas.
Jam pelajaran pun dimulai. Pukul 10.00, suasana kelas kembali tenang. Aldo duduk santai mengerjakan soal Bahasa Inggris dari Pak Lutfin. Wajahnya tetap kalem. Ia tampak sangat mahir, seolah-olah pelajaran itu mudah banget buat dia.
Melihat itu, Nayla memberanikan diri menghampirinya. Ia bawa buku tulis dan wajah sedikit bingung.
“Eh… anu, kamu bisa gak bantu ngerjain soal Bahasa 9 ini?” tanya Nayla agak gugup.
“Eazy lah,” jawab Aldo dengan santai. “Ini mah soal anak kelas 7.”
“Hah?! Easy? Buatku sih susah banget! Bisa pusing tujuh keliling!” kata Nayla mengeluh.
“Gini, aku ajarin step-nya satu-satu. Nanti juga ngerti,” jawab Aldo sambil tersenyum kecil.
Nayla pun duduk di sampingnya. Aldo mulai menjelaskan satu per satu soal, perlahan, sabar, dan jelas. Nayla manggut-manggut, bahkan sempat tertawa kecil karena ternyata, pelajaran yang ia kira “susah banget”, bisa juga dimengerti.
“Makasih, ya,” ucap Nayla tulus. Senyum manisnya terpancar.
“Gak masalah. Kalo gak ngerti, tanya lagi aja.”
Pelajaran pun berakhir. Hari itu, suasana terasa berbeda bagi Nayla.
Biasanya, dia paling malas belajar. Tapi entah kenapa, belajar bareng Aldo justru bikin dia semangat.
Sore hari, sebagian siswa dijemput orang tua. Sebagian lagi pulang sendiri atau jalan kaki. Nayla pulang sendiri, sambil menenteng bukunya dan berjalan pelan di trotoar.
Dia menatap langit dan bergumam pelan.
“Males banget… Aku pengin ketemu Aldo lagi. Kok jadi kepikiran, sih?”
“Dia itu… ganteng, cool, pintar, baik lagi. Seandainya dia jadi milikku, pasti semua bakal iri sama aku…”
Begitu isi batin Nayla sambil menatap ke arah luar jendela, memikirkan sosok Aldo.
Tiba-tiba…
Dret! Dret! Dret!
Suara ponselnya bergetar kencang di meja. Sebuah panggilan masuk—nomornya tidak dikenal.
“Halo? Apaan sih nelpon gue pagi-pagi?” ujar Nayla dengan nada malas, lalu mendengarkan isi telepon itu dengan serius.
Lalu terdengar suara misterius dari seberang:
“Kamu nyari Aldo, ya?”
“Hahaha… dia sekarang terjebak di toilet sekolah!”
“Cowok lo udah gue kunci. Jangan nangis ya, Ratu Imut!”
Tuut… tuut…
Panggilan langsung terputus.
Nayla terdiam. Jantungnya berdetak cepat. “Siapa tuh? Berani-beraninya nyakitin Aldo!” gumamnya dengan wajah cemas sekaligus penasaran.
Di dalam toilet sekolah…
Aldo terkurung di sebuah bilik. Pintu dikunci dari luar dengan gembok besar. Ia mencoba mengetuk pintu dan berteriak, tapi tak ada jawaban. Ia buka HP, ingin mengirim pesan, tapi…
“No Signal.”
“Gila… siapa yang iseng banget begini?” keluh Aldo.
“Aku salah apa sih? Baru juga pindahan…”
Toilet itu panas, pengap, dan… ya, kamu tahu sendiri… bau.
Aldo terduduk lesu. Ia menutupi hidungnya dengan lengan jaket. Matanya mulai sayu. Tapi mana bisa tidur dengan aroma sekuat itu?
Sementara itu, di luar…
“Lu ikut gue, Sa,” kata Nayla tegas sambil menarik tangan Nissa.
“Mau ke mana, Nay?” tanya Nissa, bingung.
“Ke toilet! Buat nolongin Aldo!”
“HAH? Emangnya kenapa Aldo?” sahut Alissa yang mendengar percakapan mereka.
“Gue juga belum tahu pasti, tapi tadi ada yang telepon. Suara misterius. Katanya Aldo dikunci di toilet!”
“Yaudah, gak usah banyak tanya. Ayo cepetan!” seru Nayla, setengah panik.
Nayla dan Nissa bergegas ke arah toilet cowok. Tapi belum sampai pintu, mereka dikejutkan oleh lima cowok yang berdiri mengawasi di sekitar.
Salah satu cowok itu menatap tajam ke arah mereka.
“Hei, kalian cewek. Mau ngapain di sini?” tanyanya sinis sambil menyilangkan tangan di dada.
“Ada urusan!” jawab Nayla dengan berani.
Cowok itu melangkah mendekat, menahan mereka.
“Kalo nggak ada izin, gak usah sok-sokan masuk ke area cowok,” katanya dengan nada mengancam.
Apakah Nayla berhasil menyelamatkan Aldo?
Siapa cowok-cowok misterius itu?
Dan… siapa sebenarnya dalang di balik semua ini?
“Lho, jadi lo yang mau nyelametin Aldo?” kata salah satu cowok, menatap Nayla dengan tatapan menantang.
“Iya, gue. Kenapa?” balas Nayla tajam.
“Ohh… jadi ini ceweknya Aldo?” sindir cowok lain sambil melipat tangan.
“Emang kenapa kalo gue ceweknya?” jawab Nayla, berdiri tegap, tidak takut sedikit pun.
“Gak apa-apa… asal lo bisa ngelewatin kami dulu. Kalau mau bebasin cowok lo, ya… berantem dulu!” ucap cowok itu sambil mengepalkan tangan.
Dalam hati, Nayla berkata:
“Untung aku ikut pencak silat Pagar Nusa.”
“Nissa, kamu di sini aja. Aku yang atasi semua ini,” kata Nayla mantap.
“Kamu yakin?” tanya Nissa sedikit khawatir.
“Tenang. Percaya aja sama aku.” Nayla mengacungkan jempol sambil tersenyum.
Nissa pun hanya bisa percaya. Nayla berdiri di depan kelima cowok itu, kuda-kuda siap, napas diatur.
“Siap-siap, kalian!” seru Nayla. “Ini bukan soal cinta doang, ini soal harga diri!”
HEYA!!!
Teriakan keras menggema saat pertarungan dimulai.
Bugh! Dush! Hyaat! Baghh! Dukh! Dusk!
Tendangan dan pukulan silih berganti. Nayla bergerak lincah, satu per satu lawan dijatuhkan.
Akhirnya, kelima cowok itu tersungkur kesakitan. Mereka mengerang sambil memegangi badan masing-masing.
“Nissa! Kunci toiletnya!” seru Nayla.
Nissa berlari ke pintu toilet, membuka gembok besar yang mengurung Aldo.
Pintu terbuka. Aldo terduduk lemas, wajahnya pucat tapi lega. “Akhirnya…” ucapnya lirih.
“Nayla, kamu luar biasa,” katanya pelan.
Nayla tersenyum. “Yuk, pulang.”
Mereka pun pulang bersama, dengan perasaan lega. Masalah selesai. Hati tenang. Dan semuanya selamat.
Tiga Minggu Kemudian – Alun-Alun Lumajang, Malam Minggu
Angin malam terasa sejuk. Lampu-lampu taman berpendar lembut. Di bawah langit kota, Aldo dan Nayla duduk di bangku taman.
“Aku minta maaf ya, soal kejadian waktu itu. Aku malah bikin kamu repot dan khawatir,” kata Aldo lirih, menunduk.
“Gak apa-apa kok,” jawab Nayla pelan. “Sebenernya… aku malah pengen bilang ini dari kemarin.”
“Bilang apa?” tanya Aldo, menoleh.
“Aku… aku mau pacaran sama kamu,” kata Nayla dengan senyum malu-malu.
Aldo terdiam. Wajahnya sedikit terkejut.
“Kamu… mau kan?” tanya Nayla, kini lebih pelan.
Aldo tersenyum. “Iya kok… Sayang Nayla. Aku juga mencintaimu.”
Nayla menggenggam tangan kiri Aldo erat-erat. Hangat. Tenang. Bahagia.
Aldo membalas genggaman itu. Mereka berdua tertawa kecil, menatap langit yang bertabur bintang.
Di antara ribuan cahaya malam, cinta sederhana mereka tumbuh dengan jujur dan tulus.
The End
“Kadang perasaan itu tumbuh dari hal tak terduga—saling menolong, saling percaya, dan berani memperjuangkan.”
*) Siswa Kelas 8A MTs Darun Najah Petahunan
