• 081336163361
  • admin@gurupedia.my.id.
  • Lumajang Jatim
Artikel
Wakil Rakyat Joget-joget, Rakyat Semakin Menjerit

Wakil Rakyat Joget-joget, Rakyat Semakin Menjerit

Rakyat makin menjerit. Harga kebutuhan pokok naik, pajak mencekik dari segala arah, lapangan kerja makin sulit. Namun di tengah jeritan itu, para wakil rakyat justru men7ari. Joget, bertepuk tangan, dan tertawa riang di ruang paripurna—bukan karena kebijakan pro-rakyat, tapi karena kabar manis: gaji mereka naik menjadi Rp3 juta per hari.

DPR, Rumah Rakyat atau Panggung Hiburan?

Ruang paripurna kini lebih mirip panggung hiburan ketimbang ruang pengambilan keputusan. Alih-alih menjadi tempat lahirnya kebijakan yang menolong wong cilik, ia berubah menjadi arena pesta. Bagaimana tidak? Para anggota dewan yang katanya “wakil rakyat” lebih sibuk memperjuangkan kesejahteraan dompet mereka sendiri.

Pertanyaan sederhana pun muncul: apakah DPR masih rumah rakyat, atau sudah resmi menjadi rumah joget elite yang kenyang fasilitas?

Rakyat Dapat Pajak, DPR Dapat Pesta

Rakyat dipaksa bayar pajak lebih tinggi. Pajak sembako, pajak digital, pajak kendaraan—semua bertambah. Uang rakyat diperas dari segala sisi dengan alasan pembangunan dan keadilan. Tetapi begitu uang itu terkumpul, siapa yang paling dulu menikmatinya? Bukan rakyat, melainkan DPR dengan gaji harian setara pendapatan bulanan pegawai biasa.

Ironi pun tampak jelas: rakyat digiring ke ladang pajak, sementara wakilnya berpesta pora dengan hasil perahan itu.

Guru, Beban Negara?

Lebih ironis lagi, di tengah pesta DPR, guru sering kali disebut “beban negara”. Para pendidik yang mencetak generasi bangsa hanya menerima Rp300–500 ribu per bulan jika berstatus honorer. Itu pun sering telat cair, penuh birokrasi, bahkan terkadang masih harus dipotong sana-sini.

Bayangkan, seorang guru honorer harus bekerja siang malam mendidik anak bangsa dengan gaji yang bahkan tidak cukup untuk membayar biaya listrik bulanan. Sementara di Senayan, seorang anggota DPR bisa mengantongi gaji harian yang setara dengan gaji setahun seorang guru honorer.

Apakah ini keadilan? Atau memang kita hidup di negeri yang menempatkan guru di kaki piramida, sementara wakil rakyat di puncak singgasana?

Jogetan di Atas Luka

“Jogetan DPR” hanyalah metafora, tapi sekaligus kenyataan. Mereka menari-nari di atas penderitaan rakyat yang lapar, kecewa, dan merasa dikhianati. Mereka mungkin tidak benar-benar bergoyang di ruang sidang, tapi keputusan mereka adalah sebuah tarian: tarian yang menginjak-injak perut kosong rakyat, tarian yang mementalkan suara jeritan konstituen ke dinding tebal gedung parlemen.

Demokrasi yang Retak

Jika DPR terus begini, demokrasi hanya tinggal papan nama. Wakil rakyat sudah bukan lagi cermin rakyat, melainkan cermin diri sendiri. Mereka hidup di menara gading, jauh dari aroma pasar, jauh dari derita petani, nelayan, buruh, dan guru honorer. Yang ada hanyalah pesta: pesta gaji, pesta fasilitas, pesta kedudukan.

Saatnya Berhenti Menari

Jogetan DPR di ruang paripurna harus dihentikan. Rakyat tidak butuh wakil yang lihai bergoyang di atas penderitaan mereka. Rakyat butuh kebijakan yang nyata, butuh keberpihakan, butuh keadilan. Jika tidak, sejarah hanya akan mencatat bahwa di masa rakyat berpeluh dan berjuang untuk sesuap nasi, para wakilnya sedang asyik berdansa di panggung kemewahan.