Waktu Shalat ‘Id
Waktu untuk melaksanakan salat Idul Fitri adalah sesudah terbitnya matahari sampai tergelincirnya matahari pada tanggal 1 Syawal tersebut. Ketika hari raya Idul Fitri atau Idul Adha tiba, seluruh umat Islam yang tidak ada uzur dianjurkan untuk keluar rumah, tak terkecuali perempuan haid. Perempuan yang sedang menstruasi memang dilarang untuk salat tetapi ia dianjurkan turut mengambil keberkahan momen tersebut dan merayakan kebaikan bersama kaum muslimin lainnya.
Waktu salat Id dimulai dari matahari setinggi tombak sampai waktu zawal (matahari bergeser ke barat). Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan, “Nabi saw. biasa melambatkan salat Idul Fitri dan mempercepat pelaksanaan salat Idul Adha”. Tujuan mengapa salat Idul Adha dikerjakan lebih awal adalah agar orang-orang dapat segera menyembelih kurbannya. Sedangkan salat Idul Fitri agak diundur bertujuan agar kaum muslimin masih punya kesempatan untuk menunaikan zakat fitri.
Tempat pelaksanaan salat Id lebih utama (lebih afdal) dilakukan di tanah lapang. Namun, jika ada uzur seperti hujan dan tidak adanya tanah lapang di sekitar tempat tinggal Anda, maka salat Id boleh dilaksanakan di dalam masjid.
_____________________
Baca Juga :
- Ketentuan Waktu Shalat Fardu
- Hal-hal yang Membatalkan Shalat
- Sunnah-sunnah Shalat
- Rukun Shalat
- Syarat Sah Shalat
- Syarat Shalat Fardu
- Shalat Fardu
- Tata Cara Bersuci dari Hadas (Tayamum)
- Tata Cara Bersuci dari Hadas (Mandi)
- Tata Cara Bersuci dari Hadas
- Bersuci dari Hadats
- Taharah (Bersuci dari Najis)
_____________________
Ibnu al-Qayyim berkata biasanya Rasulullah saw. melakukan salat dua hari raya (hari raya Fitri dan Adha) pada tempat yang dinamakan mushalla. Beliau tidak pernah salat hari raya di masjid kecuali hanya satu kali, yaitu ketika mereka kehujanan. Apalagi kalau dipandang dari sudut keadaan salat hari raya itu guna dija-dikan syiar dan semarak agama, maka lebih baik dilaksanakan di tanah lapang.
Ada sebagain ulama yang berpandangan yang berbeda dengan padangan di atas. Mereka ini berpendapat bahwa mengerjakan salat Id di mushalla (tanah lapang) adalah sunah, karena dahulu Nabi saw. keluar ke tanah lapang dan meninggalkan masjidnya, yaitu Masjid Nabawi yang lebih utama dari masjid lainnya. Waktu itu masjid Nabi belum mengalami perluasan seperti sekarang ini. Imam al-Syafi’i menyatakan sekiranya masjid tersebut mampu menampung seluruh penduduk di daerah tersebut, maka mereka tidak perlu lagi pergi ke tanah lapang (untuk mengerja-kan salat Id) karena salat Id di masjid lebih utama. Akan tetapi, jika tidak dapat menampung seluruh penduduk, maka tidak dianjurkan melakukan salat Id di dalam masjid.
Imam al-Syafi’i dalam hal ini memberika fatwa bahawa jika masjid di suatu daerah luas (dapat menampung jama’ah), maka sebaiknya salat di masjid dan tidak perlu keluar, karena salat di masjid lebih utama. Dari fatwa ini, al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani membuat kesimpulan seperti berikut: “Dari sini dapat disimpulkan, bahwa permasalahan ini sangat bergantung kepada luas atau sempitnya sesuatu tempat, kerana diharapkan pada hari raya itu seluruh masyarakat dapat berkumpul di suatu tempat. Oleh kerana itu, jika faktor hukumnya (’illat al-hukm) adalah agar masyarakat berkumpul (ijtima’), maka salat Id dapat dilakukan di dalam masjid dan melakukan salat Id di dalam masjid lebih utama daripada di tanah lapang”.